FENOMENA EL NINO DAN DAMPAKNYA TERHADAP EKOSISTEM TERUMBU KARANG

FENOMENA EL NINO DAN DAMPAKNYA TERHADAP
EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Oleh:
Arif Tantriadi Nugroho




Abstrak
Kondisi oseanografi Indonesia sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh arus laut Indonesia yang juga sangat dinamis. Menurut hasil pantauan satelit, yang diverifikasi lewat pengukuran oseanografi di laut, ternyata memperlihatkan pola arus laut yang bergerak dari Samudra Pasifik menuju Samudera Hindia melewati selat-selat di perairan nusantara kita ini. Pergerakan arus lintas Indonesia, yang dikenal sebagai Arlindo, mempengaruhi perubahan iklim global, memicu kehadiran variabilitas iklim ekstrem, seperti El Nino, serta berdampak pada kondisi ekologi terumbu karang. Salah satu fenomena kerusakan karang adalah fenomena alami yang disebut dengan coral bleaching (pemutuhan karang), penyebab coral bleaching ini adalah karena stress terhadap perubahan iklim (perubahan suhu lingkungan perairan). Fenomena kerusakan karang akibat coral bleaching mulai terlihat atau di amati sejak tahun 1979, dimana terjadi kematian karang massive sangat besar di muka bumi ini, yang disebabkan oleh karena coral bleaching.
Kata kunci : El Nino, Kenaikan Suhu Permukaan Laut, Pemutihan Karang

I.              Pendahuluan
Perubahan iklim bakal memengaruhi berbagai sektor kehidupan. Semua kehidupan di muka bumi, termasuk terumbu karang yang sebarannya ada di daerah tropis dan subtropis. Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni kerang laut yang bernamapoli p yang bersimbiosis dengan organisme miskroskopis yang bernamaz oox ant he llae. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Biasanya tumbuh di dekat pantai di daerah tropis dengan temperatur sekitar 21-30 °C
 El Nino dapat terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tngah dan timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut. Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di Indonesia mengalami musim kemarau panjang yang menimbulkan musibah kekeringan yang berdampak luas. Dampak El Nino menunjukkan bahwa terjadinya El Nno dikaitkan dengan peristiwa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang ini juga terjadi akibat adanya akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh pemanasan global di dunia. Kajian mengenai El Nino perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi dampak negatif yang dapat ditimbulkannya.
Pengaruh Iklim Global Terhadap Kondisi Oseanografi Indonesia Tiga kondisi meteo-oseanografi Indonesia yang dipengaruhi perubahan iklim global yakni kondisi curah hujan di darat dan di laut, suhu permukaan laut, dan tinggi paras laut. Curah hujan sudah diketahui di pengaruhi oleh fenomena El Nino, yang diperkirakan akan mempengaruhi pula suhu permukaan laut. Pemanasan global akan menaikkan permukaan laut, dan mungkin pula suhu air laut. Disamping itu, lubang ozon yang semakin meluas diperkirakan akan mempengaruhi kinerja klorofil untuk berproduksi, baik di darat maupun di laut. (http://ojanmaul.wordpress.com)
I.          Mekanisme Terjadinya El Nino
Gejala munculnya El Nino biasanya dicirikan dengan meningkatnya suhu muka air laut di kawasan Pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan meningkatkan perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox,2000;Nicholas and Beard, 2000). Secara meteorologis kejadian El Nino tersebut dan juga La Nina ditunjukkan oleh Southern Osccilation Index (SOI) dan perubahan suhu permukaan laut di samudra Pasifik (World Meteorology Organization, 1999).
Secara umum terdapat dua parameter yang biasa digunakan untuk mendeteksi terjadinya El Nino : 1. Indeks Osilasi Selatan/Southern Oscillation Index(SOI), 2. Suhu Muka Laut/Sea Surface Temperature (SST).  SOI adalah nilai indeks yang menyatakan perbedaan Tekanan Permukaan Laut (SLP) antara Tahiti dan Darwin-Australia. El Nino dideteksi ketika nilai SOI negatif selama periode yang cukup lama (minimal tiga bulan). Nilai SOI  tersebut  sangat bervariasi  menurut  bulan  atau  dalam  periode waktu yang lebih singkat lagi  akibat perubahan perbedaan  tekanan  udara  antara  Darwin  dan Tahiti.  Pada  peristiwa  El  Nino,  nilai  SOI  turun dibawah  kisaran  normal  dan  sebaliknya  pada kejadian La Nina. Nilai  SOI  di  kawasan  Asia  Tenggara dan  Australia  berkorelasi  kuat  dengan  curah hujan,  karena  itu  perubahan  nilai  SOI  merupakan  indikator  yang  baik  bagi  perubahan curah  hujan  di  kawasan  tersebut  (Podbury  et al.,  1998;  Yoshino  et  al.,  2000;  Nicholls  and Beard,  2000).  Jika  terjadi  El  Nino  atau  terjadi nilai SOI negatif, maka curah hujan di kawasan tersebut  dapat  turun  dibawah  curah  hujan normal,  sebaliknya  jika  terjadi  La  Nina  yang ditunjukkan oleh nilai SOI positif, dapat menimbulkan  peningkatan  curah  hujan  (Yoshino  et al.,  2000;  World  Meteorology  Organization, 1999).
Pada  umumnya  jika  nilai negatif  SOI  pada  suatu  peristiwa  El  Nino mencapai  -10  atau  kurang  maka  dapat dipastikan  akan  terjadi  penurunan  curah hujan di  bawah  normal,  sebaliknya  jika  pada peristiwa La Nina nilai positif SOI mencapai  10 atau  lebih  maka  akan  terjadi  peningkatan curah hujan di atas normal (Fox,2000;Nicholas and Beard, 2000).
Interaksi antara samudra dan atmosfer yang menghasilkan El Nino telah berlangsung secara rutin, rata-rata terjadinya setiap tiga sampai tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari setahun. El Nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada diatasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut. Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dar normal.
Ketika El Nino terjadi, pergerakan sebagian dari massa air tadi berbalik arah dari wilayah perairan Indonesia menuju Samudra Pasifik. Saat itu, terjadi penurunan volume massa air yang bergerak dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Kosongnya massa air di wilayah perairan Indonesia tadi kemudian mendorong munculnya up welling, atau naikknya massa air dari bawah permukaan ke atas permukaan, yang juga kaya nutrien. Oleh sebab itu, saat El Nino, justru banyak khlorofil di perairan Indonesia, utamanya di wilayah Barat Sumatera dan Selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. El Nino memang bisa mengakibatkan gagal panen, kekeringan, serta kebakaran hutan. Namun, El Nino di perairan Indonesia justru meningkatkan jumlah Khlorofil dan jumlah wilayah up welling. (Fox,2000;Nicholas and Beard, 2000).
  Parameter yang kedua adalah Suhu Muka Laut/Sea Surface Temperature (SST). El Nino terutama ditandai dengan meningkatnya suhu muka laut di Pasifik Ekuator, SST ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-ratanya dan penyimpangan di daerah tersebut bernilai positif. Selama kejadian El Nino, angin pasat timur melemah. Aliran ke Timur berbalik ke arah Barat. Perairan di sekitar Indonesia dan Australia menjadi dingin dan lebih kering.
Perbedaan anomali suhu muka laut yang sangat kontras antara wilayah Pasifik tropis bagian tengah dan timur (positif) dengan wilayah perairan Indonesia dan sekitarnya (negatif), hal ini yang dapat digunakan sebagai indikator episode El Nino. Kondisi sebaliknya yaitu anomali suhu muka laut wilayah Pasifik Tropis bagian tengah dan timur negatif (dingin) dan wilayah perairan Indonesia dan sekitarnya positif (panas), hal ini dapat digunakan sebagai indikator episode La Nina.
Berdasarkan intensitasnya El Nino dikategorikan sebagai : 
·         El Nino Lemah (Weak El Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik ekuator +0.5ºC s/d +1,0ºC dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut- turut.
·         El Nino sedang (Moderate El Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik ekuator +1,1ºC s/d 1,5ºC dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
·         El Nino kuat (Strong El Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik ekuator > 1,5º C dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.
Salah satu kejadian El Nino yang paling fenomenal adalah yang terjadi pada tahun 1997/1998. Saat El Nino tahun 1997/1998 terjadi kemarau panjang, kekeringan, kebakaran hutan yang hebat dan produksi pangan menurun. (Yoshino  et al.,  2000;  World  Meteorology  Organization, 1999).

II.        Dampak El Nino di Indonesia
Fenomena El Nino menyebabkan curah Hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El nino tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino. El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya. (http://rizalfzi.wordpress.com/2009/12/31/cuaca-di-indonesia-yang-dipengaruhi-oleh-elnina-dan-lanino/).
Dampak El Nino adalah kekeringan yang melanda sebagian besar daerah di benua maritim Indonesia. Kekeringan ini dapat mempermudah atau memicu kebakaran hutan dan menurunkan produksi pangan. Jumlah dasarian (10 harian) dengan curah hujan di bawah 50 mm lebih besar dalam tahun-tahun terjadi El Nino dibandingkan dengan jumlah dasarian dalam tahun-tahun non El Nino.
Di atas wilayah Indonesia terjadi defesiensi curah hujan bahkan dapat terjadi bencana kekeringan. Keterlambatan musim tanam padi terjadi pada tahun-tahun ENSO dibandingkan kondisi yang normal. Tanpa irigasi produksi pangan akan menurun. Tahun ENSO juga mengakibatkan kemarau panjang dan musim hujan yang pendek. Pada saat El Nino wilayah basah seperti Indonesia menjadi kering, sedangkan yang biasanya kering seperti pantai barat Amerika Selatan menjadi basah, menimbulkan banjir besar dan menurunkan produksi ikan mereka karena melemahnya upwelling (http://ojanmaul.wordpress.com).
Saat terjadi El Nino kelembapan udara di Indonesia turun sehingga terjadi kekeringan. Tetapi El Nino tidak menyebabkan kebakaran. Kebakaran ditimbulkan oleh manusia, sedangkan kondisi alam memungkinkan menjadi lebih besar karena kelembapan relatif menjadi jauh berkurang. Kekeringan dan kebakaran hutan terparah yang pernah terjadi selama 50 tahun terjadi di tahun 1997. Polusi udara yang ditimbulkannya menyebar hingga ke seluruh wilayah ditambah negara-negara tetangga, Brunei,Filipina, dan Thailand (Amien. I,  Surmaini  E,  Sucianti dan Irianto.G.  2001).
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia
·         Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomenaEl Nino.
·         El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia. Curah hujan berkurang
dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan
asap yang ditimbulkannya.
·            Di Indonesia, angin muson yang datang dariAsia dan membawa banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai barat Peru Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang
 Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia (Di sektor Perikanan)
  • Hasil tangkapan ikan pada tahun-tahun El Nino juga dilaporkan menuru         Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut ketersediaan pakan bagi ikan (plankton) juga berkurang  

  •    Selain itu banyak terumbu karang yang mengalami keputihan (coral leaching) akibat terbatasnya alga yang merupakan sumber makanan dari terumbu karang karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut
  •       Memanasnya air laut juga akan mengganggu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu laut. Kondisi ini menyebabkan terjadinya migrasi ikan ke perairan lain yang lebih dingin. (Amien. I,  Surmaini  E,  Sucianti dan Irianto.G.  2001).

Ada beberapa hal berkaitan yang ditimbulkan dengan naiknya suhu bumi/permukaan laut akibat El Nino terhadap ekosistem terumbu karang, yaitu:
a. Coral bleaching
Atmosfer dan lautan telah mengalami penaikan suhu sejak abad ke-19 dan akan terus berlanjut. Hal tersebut sejalan dengan kenaikan kadar gas efek rumah kaca. Adanya kenaikan suhu (yang juga dikaitkan dengan frekuensi El- Nino), mengakibatkan coral bleaching atau pemutihan karang.
b. Perubahan distribusi ekosistem
Terumbu karang dapat tumbuh dengan maksimal pada daerah dengan suhu tahunan rata-rata 180C. Suhu tersebut merupakan suhu paling optimal sekaligus suhu pembatas, di mana rentang temperatur tidak boleh terlalu jauh. Kenaikan antara 1,1 hingga 6,4 C akan menyebabkan pergeseran pada distribusi ekosistem terumbu karang. Pergeseran tersebut akan menyebabkan area yang lebih sempit dibandingkan keadaan semula dan diperkirakan bahwa kemampuan organisme ekosistem terumbu karang di daerah baru sangatlah kecil. Akibatnya, luas ekosistem akan menjadi berkurang atau bisa dikatakan bahwa ekosistem akan menuju ke arah penurunan menjadi ekosistem yang minor atau kecil.
c. Naiknya permukaan laut
Terumbu karang yang tidak bermasalah, kebanyakan mampu bertahan dengan naiknya permuakaan laut yang telah diperkirakan kurang lebih 50 cm hingga tahun 2100. Dataran terumbu karang yang terbuka pada saat surut, yang membatasi pertumbuhannya keatas, dapat mengambil keuntungan dari kenaikan itu. Akan tetapi, karang yang telah melemah karena meningkatnya suhu atau faktor-faktor lain mungkin tidak dapat tumbuh dan membangun kerangka tulang mereka secara normal. Apabila hal ini terjadi, pulau-pulau yang rendah (low-lying) tidak mendapat perlindungan dari terumbu karang disekitarnya seperti saat ini terhadap energi gelombang dan badai
III.       Faktor- faktor yang Merusak Terumbu Karang
Indonesia memang kaya akan keanekaragaman hayati nya termasuk di laut. Karena Indonesia termasuk negara kepulauan. Saat ini salah satu ekosistem yang memiliki peranan penting yaitu terumbu karang, kini mulai rusak. Hal ini disebabkan oleh :

A. Pengendapan Kapur 
Pengendapan kapur dapat berasal dari penebangan pohon yang dapat mengakibatkan pengikisan tanah (erosi) yang akan terbawa kelaut dan menutupi karang sehingga karang tidak dapat tumbuh karena sinar matahari tertutup oleh sedimen.
b.   B.  Aliran air tawar
Aliran air tawar yang terus menerus dapat membunuh karang, air tawar tersebut dapat berasal dari pipa pembuangan, pipa air hujan ataupun limbah pabrik yang tidak seharusnya mengalir ke wilayah terumbu karang.
c.    C. Pemanasan suhu bumi
Pemanasan suhu bumi dikarenakan pelepasan karbon dioksida (CO2) ke udara. Tingginya kadar CO2 diudara berpotensi meningkatan suhu secara global. yang dapat mengakibatkan naik nya suhu air laut sehingga karang menjadi memutih (bleaching) seiring dengan perginya zooxanthelae dari jaringan kulit karang, jika terjadi terus menerus maka pertumbuhan terumbu karang terhambat dan akan mati.
d.   D.Cara tangkap yang merusak Cara tangkap yang merusak antara lain penggunaan muro-ami, racun dan bahan peledak.
e.    E. Serangan bintang laut berduri
Bintang laut berduri adalah sejenis bintang laut besar pemangsa karang yang permukaanya dipenuhi duri. Ia memakan karang dengan cara manjulurkan bagian perutnya ke arah koloni karang, untuk kemudian mencerna dan membungkus polip-polip karang dipermukaan koloni tersebut (Suharsono,Kiswara,W,1984).

IV.      Hubungan Suhu Laut Dan Terumbu Karang
Peningkatan temperatur akan mengakibatkan pemutihan karang atau penurunan temperatur hingga 300C juga mengakibatkan stress pada ekosistem terumbu karang. Laporan-laporan penelitian mengenai terumbu karang menyebutkan bahwa kebanyakan kerusakan terumbu karang berkisar pada akhir musim panas. Peneliti terumbu karang telah mengklaim bahwa bukti dari terumbu karang Indo-Pasifik mendukung kepada hipotesis pemutihan karang (Coaral bleaching) pertanda dari perubahan iklim (Jokiel and Coles, 1990). Efek dari El Nino yang terkait dengan menghangatnya air laut pada terumbu karang didokumentasikan pertama oleh Glynn (1983) yang menjelaskan pemutihan karang dan akibat dari kematian karang di daerah pesisir Pasifik Panama. Contoh yang sama dari pemutihan karang dan kematian karang telah dicatat yg terdapat disepanjang Pasifik pada tahun 19821983 (Faure et al; Glynn 1984;Kamesaki and Suharsono and Kiswara 1984).  
Pemutihan karang juga disebutkan terjadi dengan kondisi angin dengan kecepatan rendah, langit cerah (tanpa awan), laut yang tenang, dan turbiditas rendah. Kenaikan suhu muka laut disebabkan terutama oleh efek rumah kaca dan penipisan lapisan ozon. Anomali suhu laut telah diteliti antara tahun 1986-1988, dimana hipotesisnya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh pemanasan global. Pemantauan suhu terus-menerus di Pulau Pari menunjukkan bahwa pemanasan air dimulai 10 januari dan mencapai suhu maksimum sekitar 19 maret 1998. Selama masa terjadinya pemutihan karang, tercatat suhu air 2 atau 30C lebih tinggi dari nilai rata-rata normalnya. Peristiwa pemutihan 1998 menyebabkan akibat yang lebih besar dalam hal area yang kena serta kematian karang-karangnya, dibandingkan dengan peristiwa yang sama pada periode El Nino 1982-1983 (Brown &Suharsono, 1984; Dr. Suharsono).
Pemutihan (bleaching) atas karang-karang telah terjadi di Indonesia selama periode El Nino tahun 1998, yang terlihat mulai dari Kepulauan Riau, sampai ke Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, dan juga di Pulau Bali, Pulau Lombok dan Selat Sunda. Gejala pemutihan karang dilaporkan pertama kali di Pulau Bali dan Lombok awal Maret 1998 dan di Kepulauan Seribu pada awal Mei 1998. Pada akhir agustus 1998 kematian yang meluas telah mencapai 90-95%, yang mencakup mulai dari rataan terumbu hingga ke kejelukan 25 m, dan yang mengalami pemutihan yang terparah ialah spesies karang bercabang, yaituAcropora spp.
Menurut Dr. Suharsono (1984) terdapat laporan dalam literatur mengenai rekaman sepanjang tahun 500 tahun tentang kaitan El Nino dan bencana kemarau di Indonesia. Hal ini terlihat pada tubuh karang yang memperlihatkan sabuk pertumbuhan (growth banding) yang berbeda-beda lebarnya sesuai dengan keadaaan perbedaan kondisi iklim, termasuk El Nino. Juga terdapat hubungan yang jelas antara kadar isotop oksigen yang ada dalam tubuh karang dengan suhu air tempat dia hidup. Demikian pula halnya dengan isotop karbon dan perbandingan angka strontium terhadap kalsium, yang dua-duanya punya korelasi dengan suhu lingkungan dan juga dengan usia tubuh karang.
Peristiwa El Nino beberapa tahun terakhir telah menyebabkan pemutihan karang besar peristiwa-peristiwa di bagian timur Pasifik, dari peningkatan suhu laut. Pada skala yang lebih besar, pemanasan global adalah perhatian utama sebagai penghasil perubahan temperatur laut luas. Peristiwa coral bleaching telah mulai menjadi lebih sering dan luas, dalam dekade terakhir, dan ini menjadi perhatian para ilmuwan dan lingkungan. Coral bleaching mungkin merupakan tanda pertama dari ekosistem yang sensitif terhadap perubahan global yang terjadi terhadap lingkungan laut.

V.        Perubahan Topografi Paras Laut dan Hubungannya dengan Terumbu Karang
Faktor utama yang mempengaruhi tinggi paras laut ialah pasang surut. Akan tetapi El Nino disebut sebagai faktor yang mempengaruhi tinggi muka laut. Selanjutnya tinggi muka laut dapat pula dipengaruhi oleh pemanasan global, berupa makin naiknya paras laut dan hal ini tentunya akan mempengaruhi kondisi ekologi laut terutama terumbu karang. Terumbu karang tumbuh mengikuti perubahan muka laut. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Jokiel,PL,Coles SL,1989)
Pengukuran terhadap kenaikan muka laut telah dilakukan dan terjadi peningkatan 10-25 cm dalam kurun waktu 100 tahun dan akan meningkat hingga 95 cm pada abad selanjutnya (Pittock, 1998d a la m Hoegh-Guldberg, 2004). Kenaikan Muka laut sehubungan dengan Perubahan Iklim Global diakibatkan oleh: pemanasan Muka Laut,mencairnya Es di kutub,Rekayasa lingkungan oleh manusia. Jika mengacu pada tingginya kenaikan permukaan laut terhadap kelangsungan hidup terumbu karang, maka untuk 50 tahun mendatang, dengan rata-rata kenaikan per tahun adalah 0,7 cm (IPCC) maka hanya terjadi peningkatan sebesar 35 cm pada tahun 2058. Nilai ini sangat jauh dari kemampuan terumbu karang untuk bertahan hidup dimana kedalaman ekstremnya adalah 50 m. Oleh sebab itu kenaikan muka laut belum dapat dijadikan sebagai stress bagi terumbu karang (Jokiel,PL,Coles SL,1989).


KESIMPULAN

Gejala penyimpangan cuaca El Nino sudah terasa pengaruhnya pada kehidupan manusia di muka bumi. Di Asia Tenggara membuat banyak daerah lebih kering dari biasanya. Sebaliknya di belahan Amerika Selatan, curah hujannya lebih tinggi dari biasanya. Penyebab utama adalah efek pemanasan global (Global warming).
Proses penyebab terjadinya El Nino adalah gagalnya pergantian angin selatan yang normal bahkan berbalik. El Nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada diatasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut. Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dar normal.
Efek dari El nino terhadap terumbu karang adalah terjadi pemutihan karang (Coral Bleaching) pada daerah Kepulauan Riau, sampai ke Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, dan juga di Pulau Bali, Pulau Lombok dan Selat Sunda. Coral bleaching mungkin merupakan tanda pertama dari ekosistem yang sensitif terhadap perubahan global yang terjadi terhadap lingkungan laut.


DAFTAR PUSTAKA
Amien. I,  Surmaini  E,  Sucianti dan Irianto.G.  2001. Identifikasi  dan Evaluasi  Dampak El Nino. Laporan Hasil penelitian. Puslitbangtanak
Fox. J.J. 2000. The Impact of the 1997-1998 El Nino on  Indonesia.  In :  R.H.  Grove  and J.Chappell  (ed).  El  Nino  –  History  and Crisis. Studies from the Asia-Pacific region.The White House Press. Cambridge, UK.
Glynn,P,W,1983. Extensive “Bleaching” and Death of Reef Corals on The Pacific Coast of Panama.Environmen Conserv 10: 149-154.
Jokiel,PL,Coles SL.1989. Effects of Heated Effluent on Hermatypic Corals at Kahe Point,Oahu.Pac Sci 28:1-18.
Jokiel,PL,Coles SL.1990. Response of Hawaiian and Other Indo-Pacific Reefs Corals to Elevated Temperature.Coral reefs  8:155-162.
Kamesaki,N,Ui,S.1984. Bleaching of Hermatypic Corals in Yaeyama Islands.Mar Parks J 61: 10-13
Nicholls.  N and Beard.G.  2000.  The  Application  of El Nino-Southern Oscillation Information to Seasonal Forecast in Australia.  Routledge. London and New York.
Podbury.T,  Sheales  T.C,  Hussain.I  and Fisher.B.S. 1998.  Use  of  El  Nino  climate forecasts  in Australia. Amer. J. Agr. Econ. 80(5).
Suharsono,Kiswara,W.1984.Natural Death of Corals in The Java Sea (Indonesia).Oseano 9.
World Meteorological Organization. 1999. The 1997-1998 El Nino Event: A Scientific and Technical Retrospective.
http://rizalfzi.wordpress.com/2009/12/31/cuaca-di-indonesia-yang-dipengaruhi-oleh-elnina-dan-lanino/

Comments

Popular posts from this blog

POLA ADAPTASI BIOTA INTERTIDAL TERHADAP VARIASI PASANG-SURUT DI DAERAH MANGROVE (KERANG Polymesoda coaxans)

EKOFISIOLOGI DAN PROSES RESPIRASI (KONSUMSI OKSIGEN PADA KERANG)