EKOFISIOLOGI DAN PROSES RESPIRASI (KONSUMSI OKSIGEN PADA KERANG)
EKOFISIOLOGI DAN PROSES RESPIRASI
(KONSUMSI OKSIGEN PADA KERANG)
I. Pendahuluan
Bivalvia laut umumnya hidup pasif sehingga kelangsungan hidupnya sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan (Jeong and Cho 2007) serta pengaruh lingkungan tersebut terhadap proses-proses fisiologi (ekofisiologi) bivalvia,seperti pengaruh temperature, salinitas, cahaya, gelomang dan sebagainya terhadap proses respirasi atau konsumsi oksigen.
Oksigen diperlukan bagi semua organisme hidup untuk menyediakan energi bagi aktifitas fisik dan fisiologinya . kebutuhan oksigen tergantung dari spesies , ukuran, umur, stadia, serta kondisi lingkungannya. (temperature, salinitas,dsb.) (Suprapto,1986; Bayne, 1976; Gosling, 2003). Semua dampak factor-faktor tersebut di atas terhadap kebutuhan oksigen bivalvia akan sanaga tergantung dengan “life history”. Bivalvia yang biasa hidup pada daerah yang selalu kaya oksigen akan sangat peka terhadap penurunan kadar oksigen, misalnya kelompok simping. Disisi lain bivalvia yang biasa hidup di daerah pasang surut akan sangat tahan terhadap kekurangan oksigen bahkan saat air surut, dan pada akhirnya menutup cangkang agar terhindar dari dehidrasi dan melalukan proses respiarsi enzimatik.
II. Bivalvia
Menurut Gosling (2003) Moluska memiliki lebih dari 50.000 spesies dan 30.000 spesies yang terdapat di laut. Filum Moluska merupakan kelompok yang paling bervariasi jenisnya, distribusinya di hampir seluruh dunia dibandingkan dengan jenis binatang lain. Moluska merupakan hewan yang tubuhnya lunak, tetapi sebagian besar dilindungi oleh cangkang penutup yang kuat.
Filum ini terdiri atas enam kelas utama (Gosling, 2003). Dilihat dari keragaman dan jumlahnya, secara berturut-turut adalah Gastropoda (40.000 spesies), Bivalvia (7.500 spesies), Cephalopoda (terdiri atas 650 spesies dan merupakan kelompok yang paling sempurna dari moluska), Poliplacopora dan Scaphopoda (keduanya masih sekitar 1.000 spesies).
Mantel dilekatkan ke cangkang oleh sederetan otot yang meninggalkan bekas melengkung yang disebut garis mantel. Fungsi dari permukaan luar mantel adalah mensekresi zat orgnik cangkang dan menimbun kristal-kristal kalsit atau kapur. Mulut kerang terdiri dari palpus-palpus atau cuping-cuping bibir yang merupakan dua daun daun telinga terlipat dua, akar insang melekat pada tempat yang terletak diantara dua daun telinga tersebut.
Dalam mengalirkan makanan ke mulut, cilia memegang peranan penting. Sebagai filter feeder, sebagian besar kerang menyaring makanannya menggunakan insang yang berlubang-lubang. Makanan utamanya adalah plankton terutama fitoplankton (Suwignyo, 2005).
Plankton yang dibawa oleh arus insang (pernafasan) mengalami seleksi lagi. Beberapa jasad yang tidak dikehendaki, misal karena mereka berduri, diarahkan keakhir cuping. Di tempat ini mereka jatuh ke dalam rongga mantel dan secara berkala dikeluarkan sebagai kumpulan benda kecil, atau benda seperti feces, ke dalam air laut. Zat hara yang diterima diteruskan ke mulut dan ke kerongkongan berbulu getar yang berakhir ke perut. Partikel-partikel yang besar diteruskan ke usus, sedangkan zat hara lainnya dikirim ke kantung atau tabung pencernaan yang mengelilingi perut. Usus memanjang membentuk lingkaran di dalam kelenjar genital, melewati atas jantung, melilit sekeliling otot pengikat, dan berlanjut sebagai rektum. Anus berbentuk corong, yang membuang feses ke luar dari mantel (Romimohtarto, 2001).
Peredaran darah bivalvia adalah peredaran darah terbuka yaitu darah dari jantung ke sinus organ, ginjal, insang dan kembali ke jantung. Darah bivalvia biasanya tidak berwarna, namun kerang jenis Anadara, famili Arcidae mempunyai sel darah yang mengandung hemoglobin.
2.1. Habitat dan Penyebaran Bivalvia
Habitat merupakan suatu tempat terjadinya interaksi antara organisme dengan lingkungannya, dan membuat organisme tertentu merasa sesuai untuk melaksanakan hidup dan kehidupannya. Sebagai contoh, faktor-faktor fisika yang sering menentukan habitat suatu spesies tertentu adalah faktor fisika dan terdiri atas :temperatur, cahaya, arus, substrat dasar, kedalaman, dsb. Sedangkan untuk faktor biologis, antara lain : predator, kompetitor, parasit, ketersediaan makanan, aktivitas reproduksi, respirasi, serta tekanan osmotik. Untuk faktor kimia, antara lain : kadar oksigen, salinitas, pH, keberadaan polusi bahan kimia, dsb. Organisme selanjutnya memberikan respon terhadap faktor-faktor tersebut sehingga mendapatkan tempat yang sesuai dengan kebutuhan biologisnya, baik untuk aktivitas fisik maupun fisiologisnya.
Untuk habitat bivalvia, faktor fisika yang disebutkan diatas, yang utama, berdasarkan penelitian Vernberg and Vernberg (1972); Bayne (1976); Gosling (2003) adalah temperatur, dan bahkan faktor inilah yang mempengaruhi distribusi global. Apabila temperatur naik, secara bertahap bivalvia mempunyai waktu yang cukup dan mampu untuk menyesuaikan diri, yang akhirnya memodifikasi tingkat aktivitas fisiologisnya. Sebagai contoh aktivitas respirasi, aktivitas filtrasi, serta aktivitas reproduksi dsb. Pada waktu terjadinya kenaikan temperatur, sebagian protein dari bivalvia biasanya mengalami apa yang disebut “heat-stress protein” (hsp).Padahal fungsi utama dari protein, yaitu bsangat berperan dalam proses aklimasi terhadap temperatur. Peranannya adalah mencegah terjadinya kerusakan protein akibat panas yang dapat terkumpul didalam sel selama penyesuaian terhadap perubahan temperatur. Untuk memperoleh gambaran tentang habitat dari berbagai bivalvia.
Pada Pelecypoda memilih habitat dalam lumpur dan pasir dalam laut serta danau, tersebar pada kedalaman 0,01 sampai 5000 meter dan termasuk kelompok organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak (Nybakken, 1992). Anggota kelas Pelecypoda mempunyai cara hidup yang beragam ada yang membenamkan diri, menempel pada substrat dengan benang bisus (byssus) atau zat perekat lain, bahkan ada yang berenang aktif. Biasanya hidup dengan menguburkan diri di dalam habitatnya dan berpindah dari satu tempat ketempat yang lain dengan satu kaki yang dapat dijulurkan di sebelah anterior cangkangnya (Yasin, 1987; Nontji, 1987). Menurut kebiasaan hidupnya, Pelecypoda digolongkan ke dalam kelompok makrobentos dengan cara pengambilan makanan melalui penyaringan zat-zat tersuspensi yang ada dalam perairan atau filter feeder (Heddy, 1994).
Pada kerang jenis Pinctada maxima yang merupakan spesies tiram penghasil mutiara South Sea Pearl yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan ukurannya paling besar (Shirai 1981). Daerah penyebarannya mulai dari perairan laut dangkal dengan dasar ditumbuhi tanaman lamun sampai perairan dalam berkarang atau dengan substrat bersedimen di daerah yang berdekatan dengan landas kontinen dan pulau (Gervis and Sims 1992; Yukihira et al. 1999).
Makanan berupa organisme atau zat-zat terlarut yang berada dalam air. Makanan diperoleh melalui tabung sifon dengan cara memasukkan air ke dalam sifon dan menyaring zat-zat terlarut. Air dikeluarkan kembali melalui saluran lainnya. Makin dalam kerang membenamkan diri makin panjang tabung sifonnya (Yasin, 1987; Nontji, 1987). Nybakken (1992) mengklasifikasikan bivalvia ke dalam kelompok pemakan suspensi, penggali dan pemakan deposit. Karena itu jumlahnya cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak. Di daerah intertidal, kehidupan Pelecypoda dipengaruhi pasang surut. Adanya pasang surut menyebabkan daerah ini kering dan fauna ini terkena udara terbuka.
III. Ekofisiologi Bivalve
Selama 20 tahun terakhir, ada banyak penelitian pada fisiologis dan energetika ekologi laut kerang (Newell, 1979; Bayne & Newell, 1983; Worall et al, 1983;. Bricelj & Malouf, 1984; Bayne, 1993). Namun, semuanya itu berkonsentrasi pada beberapa spesies terutama perairan muara, dan pantai berbatu, spesies tersebut termasuk remis, tiram, kerang dan kerang (MacDonald & Thompson, 1986; Navarro et al, 1994;.. Bougrier et al, 1995; Hawkins et al,. 1996). Baru-baru ini studi tentang biologi makan kerang menyarankan mereka menunjukkan pola respons umum perubahan lingkungan, dengan beberapa spesies tropis menunjukkan tanggapan serupa dengan spesies temperate (Hawkins et al, 1998.). Namun, bivalvia dari pantai berombak terkena lebih ekstrim faktor fisik daripada yang ditemukan di muara dan terlindung pantai (McLachlan, 1983; Pendek, 1990) dan memungkinkan memiliki adaptasi dengan cara yang berbeda.
Temperatur perairan merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan pertumbuhan, sebab temperatur berperan langsung dalam aktivitas dan proses metabolisme bivalvia(Manzi dan Castagna, 1989; Bayne, 1976). Namun, temperatur berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen dalam air, padahal meningkatnya temperatur akan meningkatkan aktivitas metabolisme dan konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan oksigen. Proses perubahan temperatur juga berpengaruh terhadap proses fisika dan kimia badan air. Temperatur juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa variasi konsumsi fitoplankton dan konsumsi oksigen, terutama jika diukur dalam laboratorium, sangat tergantung kepada waktu pelaksanaan pengukuran, terutama berkaitan dengan musimnya, dan khususnya dengan siklus kehidupannya. Disisi lain, pemahaman tentang nilai-nilai kemampuan bivalvia dalam mengkonsumsi fitoplankton dan konsumsi oksigen merupakan indikator yang penting tentang kemampuan bivalvia dalam beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Reaksi dari perubahan tingkat metabolisme bivalvia ini menyebabkan respirasi meningkat dan energi yang dikeluarkan turut meningkat. Bivalvia akan meningkatkan filtrasi atau konsumsi makannya untuk mengimbangi energi yang hilang dan untuk mengantisipasi keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari perubahan temperatur yang ekstrim. Jadi angka kecepatan filtrasi ikut dipengaruhi pula oleh kondisi temperatur lingkungannya. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa temperatur dalam batasan normal tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap laju filtrasi. Pada temperatur rendah, misalnya 5ºC bivalvia memiliki laju filtrasi 1,64 l/jam, sementara pada temperatur tinggi (28ºC) laju filtrasinya sebesar 5,82 l/jam. Pada akhirnya peningkatan temperatur menyebabakan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen
Laju metabolisme dapat diukur dari kalori yang dibelanjakan atau laju konsumsi oksigen. Pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat kalorimetrer atau respirometer. Laju metabolisme dapat juga diukur pada tingkat basal dan atau aktif. Laju metabolisme basal atau standar (basal metabolism), yaitu pengukuran yang dilakukan dengan cara memuasakan hewan uji selama 1–2 kali 24 jam. Metabolisme rutin (routine metabolism) adalah pengukuran yang dilakukan dengan tetap memberikan pakan setiap hari. Metabolisme aktif (active metabolism) adalah pengukuran yang dilakukan pada organisme yang aktif berenang atau perenang cepat. Feeding maksimum (Msda) adalah energi metabolisme untuk kegiatan makan (Feeding Metabolism, Mt), seperti mencerna dan penyerapan makanan, atau sering pula disebut energi metabolisme untuk standard dynamic action (Msda) (Affandi et al. 2009; Soria et al. 2007; Wirahadikusumah 1985).
Menurut hasil sebuah penelitian Dari hasil analisis dapat diinterpretasikan, semakin meningkat suhu dan salinitas maka laju konsumsi oksigen juga makin meningkat, hingga mencapai batas optimum (28oC; 32–34 ‰), kemudian konsumsi oksigen akan menurun pada kondisi suhu dan salinitas yang meningkat. Menurut Bayne (1983) pengaruh suhu dan salinitas pada laju konsumsi oksigen bervariasi antar spesies dan dipengaruhi oleh kondisi pretreatment (sebelum perlakuan) pada induk, gamet dan larva yang berada pada satu seri penelitian.
IV. Diskusi
2.1. Konsumsi Oksigen Pada Bivalvia
Oksigen merupakan gas yang berwarna, tak berbau, tak berasa dan hanya sedikit larut dalam air. Untuk mempertahankan hidupnya makluk yang tinggal di air, baik tanaman maupun hewan, bergantung kepada oksigen untuk kebutuhan respirasinya. Dalam suatu perairan, sumber oksigen bisa bersal dari fotosintesis tanaman maupun difusi langsung ke badan air. Namun, kadar oksigen yang masuk pada suatu perairan sangatlah bervariasi. Oleh karenanya biota air yang tinggal di dalamnya mempunyai adaptasi untuk menghadapi situasi seperti itu. Bivalvia, yang tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kemampuan adaptasi fisiologis dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya akan konsumsi oksigen sesuai dengan habitatnya.
Menurut Suprapto (2011), intensitas konsumsi oksigen bivalvia tergantung pada faktor-faktor, dimana faktor yang ada akan berpengaruh secara berkaitan terhadap konsumsi oksigen bivalvia pada umumnya. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Berat bivalvia
Laju konsumsi oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk suhu air, berat badan dan
tingkat aktivitas. Jika dihitung per unit berat badan, maka individu kecil lebih banyak menggunakan oksigen dibanding besar (Goddard 1996).
Dapat dijelaskan, berdasarkan pada stadia perkembangan larva, maka percobaan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Stadia I (D1– D6) dengan kepadatan larva 5 ekor/ml; Stadia II (D7 – D14) dengan kepadatan larva 3 ekor/ml dan Stadia III (D15 – D20) dengan kepadatan larva 2 ekor/ml (Winanto et al. 2001; Winanto, 2004). Pada stadia I: laju konsumsi oksigen tertinggi mencapai 2,16 mgO2/g berat basah/jam (BF) dan terendah 1,09 mgO2/g berat basah/jam (AD), dan hal yang sama juga terjadi pada stadia II dan stadia III.
2. Kondisi fisiologis
Kondisi syarat utama untuk kelangsungan hidup berbagai organisme adalah berdasarkan pada pengelolaan keseimbangan energi yang positif, yang mana berkaitan langsung dengan kualitas lingkungan (Smaal & Widdows 1994). Keseimbangan energi dapat diestimasi oleh perbedaan antara energi yang diperoleh dari makanan yang sesuai, dan konsumsi energi oleh metabolisme internal (Crisp 1984; Dame 1996). Jika hasilnya positif, keseimbangan energi ini dapat didefinisikan sebagai skope untuk pertumbuhan, representasi energi yang digunakan untuk tumbuh (jaringan somatik) dan atau untuk reproduksi (Resgalla et al, 2007).
Anwar (2002) mengatakan bahwa laju konsumsi oksigen pada metabolisme standar terkait dengan penambahan jumlah inti cangkang, dan menurut Dan & Ruobo (2000) kisaran suhu yang baik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan antara 15 0C-25 0C. Pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai, tiram akan berkonsentrasi mengalokasikan energi tubuh lebih banyak untuk beradaptasi dengan lingkungan daripada aktivitas lain seperti pelapisan inti selama proses pembentukan mutiara, sehingga lapisan mutiara yang terbentuk menjadi lebih tipis (Tun et al. 1988). Menurut Mulyanto (1987) setelah kantong (pearl sack) terbentuk konsentrasi energi lebih banyak digunakan untuk menahan stress sebagai akibat penempatan inti di dalam jaringan tubuh. Proses biofisiologis yang tampak adalah kerang akan melapisi inti dengan lendir dan mensekresikan zat-zat pembentuk mutiara yang terdiri dari Crystaline calcium carbonat, Crystall hexagonal calsite dan Conchiolin (Cahn 1949). Dari hasil penelitian jumlah inti pada pecobaan berpengaruh nyata terhadap metabolisme standar (laju konsumsi oksigen) (p<0.05) pada pengamatan hari ke 15, 30, 45, 90 dan 150, tetapi tidak berbeda nyata (p>0.05) pada pengamatan hari ke 60, 75, 105 dan 120.
3. Tekanan parsial oksigen
Kurs oksigen tergantung pada perbedaan tekanan parsial. Semakin tinggi suhu di suatu tempat, maka kebutuhan oksigen akan semakin meningkat untuk keperluan respirasi. Pada bivalvia tekanan parsial sangat berpengaruh pada respirasi, dimana bivalvia yang tinggal di suatu wilayah tertentu akan merespon terhadap kondisi yang ada.
Bivalvia dari pantai berombak terkena lebih ekstrim faktor fisik daripada yang ditemukan di muara dan terlindung pantai (McLachlan, 1983; Pendek, 1990) dan memungkinkan memiliki adaptasi dengan cara yang berbeda. Dalam penelitian Marsden (1999), mencoba membandingkan pengaruh suhu terhadap laju makan dan pengambilan oksigen, untuk menilai kemampuan ini kima surfing dalam mengkompensasi perubahan lingkungan musiman. Pengukuran dilakukan terhadap individu tuatua, dengan panjang cangkang 27-95 mm, pada temperatur 10, 15 dan 20 0C di musim panas dan 5, 10 dan 15 0C di musim dingin menggunakan teknik closed box respirometry (Shumway, 1983). Serapan oksigen dan tingkat makan (clearance) dilakukan pengukuran pada Donacina pahpies yang terekspose pasir pantai ditandai dengan variabel tingkat produktivitas (4-12 mg/l klorofil a) dan suhu tahunan berkisar antara 8 dan 19 0C. Berat penyerapan oksigen spesifik yang sama di kedua suhu di atas, secara signifikan berkurang pada suhu yang lebih rendah. Untuk tuatua dengan panjang standar penyerapan oksigen 10 0C di musim panas dan musim dingin. Dan disimpulkan bahwa P. donacina menunjukkan penyesuaian musiman dalam pengambilan oksigen dan laju filtrasi untuk mengkompensasi variasi temperatur musiman di habitatnya. Suhu optimal untuk spesies ini adalah 10 0C, dimana memungkinkan untuk makan secara efektif selama periode ketersediaan pangan yang tinggi.
4. Temperatur
Menurut Bayne (1983) pengaruh suhu dan salinitas pada laju konsumsi oksigen bervariasi antar spesies dan dipengaruhi oleh kondisi sebelum perlakuan pada induk, gamet dan larva yang berada pada satu seri penelitian. Penelitian pengaruh suhu dan salinitas terhadap respon fisiologi larva tiram mutiara pinctada maxima (jameson), dan bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pembelanjaan energi untuk metabolism rutin pada tingkat suhu dan salinitas berbeda, serta dapat diketahui tingkat suhu dan salinitas optimum, sehingga dapat diperoleh sintasan dan pertumbuhan yang tinggi. Dimana metode pengukuran laju konsumsi oksigen dilakukan dengan menempatkan hewan uji di dalam botol plastik gelap dengan volume 200 ml. Disain percobaan untuk mengetahui laju konsumsi oksigen, yaitu berupa satu unit peralatan yang terdiri dari empat botol. Botol A untuk stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah hewan uji; botol C untuk mengukur laju konsumsi oksigen; dan botol D sebagai tempat menampung sisa air buangan, oksigen terlarut diukur dengan alat DO meter (YSI 550A, tipe 03J0820 AJ).
5. Genetis
Dalam suatu populasi kerang yang mendiami suatu habitat, sering kita jumpai keanekaragaman pada setiap individunya baik dari panjang, lebar dan berat. Variasi genetik dalam populasi yang merupakan gambar dari adanya perbedaan respon individu-individu terhadap lingkungan adalah bahan dasar dari perubahan adaptif. Menurut Sumantadinata (1982) keragaman genetik antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik dan terhalang secara ekologis, terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Terkait dengan hal tersebut pada kerang juga mempunyai intensitas konsumsi yang berbeda pada jenis kerang yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian suprapto (1986), dengan membuat percobaan pada berbagai populasi Pecten maximus yang memiliki live history berbeda, berasal dari Prancis dan Scotlandia, dipeoleh tingkat konsumsi oksigen yang berbeda pula, hal ini terkait dengan hubungan antara konsumsi oksigen dengan locus heterozygotitas individu kerang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Kasful. 2001. Thesis Pengaruh Jumlah Inti Blister Terhadap Inti Blister Terhadap Ketebalan Lapisan Mutiara dan Pertumubuhan Tiram Mutiara Pteria Penguin (Bivalvia :
Pteridae). Program Studi Ilmu Perairan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bayne, B. L., (Ed). 1976. Marine mussels, their ecology and physiological ecology of Mytilus californianus Concrad. 1. Aspects of metabolism and energy balance. Oecologia (Berl.), 22 : 229-258.
Chan, AR. 1949. Pearl Culture in Japan. Fishing leaflet.357. Washington DC.
Dan, H dan G. Ruobo. 2000. Freshwater Pearl Culture and production in China. Chinese Academy of Fisheries Sciences. Jiangsu Province China.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs (Biology, Ecology and Culture). Fishing News Books.
McLachlan, A., E. Jaramillo, O. Defeo, J. Dugan A. de Ruyck & P.Coetzee, 1995. Adaptations
of bivalves to different beach types. J. exp. mar. Biol. Ecol. 187: 147–160.
Marsden,S. 1999. Respiration and Feeding of the Surf Clam Paphies donacina from New Zealand. Zoology Department, University of Canterbury, Christchurch, New Zealand Hydrobiologia 405: 179 – 188, 1999.
Misran, Erni, 2002. Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran dalam Bidang Bioteknologi Kelautan: Pengendalian Pencemaran. “http://library.usu.ac.id/download/ft/kimia-erni.pdf”.Diakses Tanggal 7 Maret 2011.
Newell, R.C. 1979. Biology of Intertidal Animals. Marine Ecological Surveys Ltd. Faversham, Kent. 781p.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara: Djambatan. Jakarta. Hlm. 32-45.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Oleh: H.M. Eidman Jakarta: PT. Gramedia. Hlm. 367.
Romimohtarto, Kasijan, 2001. Biota Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan.
Yasin, M. 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Sinar Wijaya, Surabaya. Hlm. 330.
Sumantadinata K.1982. Population genetics analysis of black sea beam using biochemical markers[thesis]. Departement of Cultural Fisheries, Faculty of Agriculture Kochi University
Shumway, S. E., 1983. Factors affecting oxygen consumption of the coot clam Mulinia lateralis (Say). Ophelia 22: 143–171.
Suprapto, Djoko. 2011. Ekofiologi Bivalvia dan Konsumsi Oksigen. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Suwignyo, Sugiarti, dkk. 2005. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Comments
Post a Comment